Iklan

Potret Kemiskinan Hidup di Bekas Kandang Sapi bersama Keluarga Sutomo Berharap Punya Warung Kecil

Kamis, 03 Agustus 2017, Agustus 03, 2017 WIB Last Updated 2017-08-04T03:41:09Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini
Berita Viral Populer | PONOROGO - Tak pernah terbayangkan dalam benak Ahmad Sutomo (41) , akan mengajak istrinya Dwi Ayu Suciati (24) dan dua anaknya tinggal di bekas sangkar sapi.

Namun , kondisi ekonomi memaksanya tinggal dan hidup di gubuk bekas sangkar sapi.

Kandang sapi yang digunakan sebagai rumah oleh Ahmad Sutomo berada di RT 001/RW 002 , Dusun Krajan , Desa Sendang , Kecamatan Jambon , Ponorogo.

Di daerah itulah , ia tinggal bersama istri serta dua anaknya Muhammad Kholil Yusuf (4) dan Hinata Callei (2)

Rumah Sutomo berada persis di belakang rumah orangtuanya. Di sekitar rumah Sutomo , ditumbuhi sejumlah pohon pisang.

Bekas sangkar sapi yang "disulap" menjadi rumah ini memiliki luas sekitar 3 meter X 6 meter.

Rumah yang tampak sangat sederhana itu seluruhnya konstruksinya terbuat dari kayu dan bambu.

Begitu juga dinding rumah setinggi 1 ,5 meter , terbuat dari anyaman bambu atau gedek , serta tiang bambu yang tampak lapuk. Sementara itu , lantai rumah masih berupa tanah padat yang belum disemen.

"Dulu di sini penuh dengan kotoran sapi , sekitar satu meter tebalnya. Tapi sudah saya bersihkan , saya cangkul ," kata Sutomo , Selasa (25/7/2017).

Ia menceritakan , pada tahun 2014 istrinya mengandung anaknya yang kedua. Istrinya pulang ke rumah orangtuanya di Pekalongan , Jawa Tengah , dan ingin melahirkan bayi keduanya di sana.

"2014 saya hidup sendiri bersama sapi di sangkar sampai 2015. Waktu itu , istri saya pulang ke rumah orangtuanya ," katanya.

Sebelumnya , ketika gres memiliki satu anak. Ia dan istrinya masih tinggal di rumah orangtuanya di Ponorogo.

"Saat hamil kedua , istri saya ingin hidup mandiri. Kalau mampu punya rumah sendiri , apapun bentuknya ," katanya.

Akhirnya ia berdisuksi dengan keluarganya dan meminta sangkar sapi yang berada di belakang rumahnya untuk diperbaiki sebagai rumah.

Saat itu oangtuanya sempat menunjukkan , biar Sutomo tinggal di dapur , namun Sutomo menolaknya.

Selama setahun , Sutomo sempat hidup di sangkar sapi , sembari mencari pekerjaan dan mengumpulkan uang untuk memperbaiki rumahnya.

"Nyaman nggak nyaman ya bagaimana lagi , awalnya ya tidurnya sama sapi. Kalau sapinya kencing ya krocok-krocok , sebelum dipindah di luar ," katanya.

Berbekal uang Rp 200 ribu , ia memperbaiki sangkar sapi milik orangtuanya. Sapi titipan yang dirawat orangtuanya ia pindahkan ke daerah yang baru.

"Bangunan masih asli , cuma saya ganti rangka atapnya alasannya sudah menghitam ," jelasnya.

Setelah sangkar sapi itu diperbaiki , Sutomo mengajak istri serta dua anaknya ke rumah barunya.

Meski sempit , namun ia mengaku bahagia alasannya mampu hidup mampu berdiri diatas kaki sendiri berkumpul dengan keluarganya.

Rumahnya terdiri dari satu ruangan saja yang disekat menggunakan kain yang sudah usang.

Tak ada perabot mewah di dalam rumah. Ruangan yang hanya bersekat kain itu , dipakai sebagai daerah tidur.

Tampak , kasur tipis yang biasa dipakai daerah tidur istri dan dua anaknya.

"Kasur itu , kasur bekas dikasih orang. Daripada dibuang , mending saya pakai ," kata anak bungsu dari tiga bersaudara ini.

Kasur itu dipakai anak dan istrinya , sementara dirinya tidur di atas papan kayu yang disusun dan diberi ganjal kain.

Ketika siang , rumah Sutomo tampak sangat terang , alasannya sinar matahari tembus melalui celah rumah.

“Kalau hujan deras ya masuk ke dalam rumah , becek semua , ” ujar Sutomo.

Sebagai buruh serabutan yang berpenghasilan Rp 55.000 per hari , Sutomo mengaku tidak memiliki pilihan selain tinggal di daerah itu.

Penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Sutomo mengatakan , tidak setiap hari ia mendapat pekerjaan. Sebab , biasanya ia mendapat pekerjaan ketika demam isu tanam ataupun masa panen.

Sedang istrinya pernah mencoba membuka perjuangan berjualan rujak dan gorengan. Namun , alasannya keterbatasan modal , perjuangan istrinya hanya bertahan dua bulan.

"Mungkin alasannya banyak kebutuhan , dan modal terbatas alhasil tutup ,"katanya.

Sutomo bekerjsama memiliki impian untuk mencoba membuat kerajinan kolor reog , untuk mengisi kekosongan ketika tidak ada pekerjaan.

"Sekarang saya mencoba mengawali membuat kerajinan kolor reog. Tapi gres sekarang berguru sambil kumpul-kumpul modal ," jelasnya.

Ia mengaku sudah meminjam uang Rp 500 ribu dari temannya. Uang itu rencananya ia pakai untuk membeli benang , sebagai materi utama membuat kolor reog.

Pria lulusan SD ini berharap mendapatkan derma modal untuk perjuangan yang ingin ia rintis.

Sutomo juga berharap dapat membangun warung kecil untuk istrinya berjualan gorengan dan rujak.

Selain menjadi buruh serabutan , Sutomo juga dipercaya menjadi guru ngaji di Pondok Pesantren Mambaul Huda di Desa Sendang.

Namun , ia tidak mendapatkan gaji dari profesinya sebagai pengajar di madrasah diniyah. Hanya bisyaroh berupa parcel yang diberikan oleh pengurus pondok setiap lebaran.

Sedang istrinya Dwi Ayu Suciati , tak pernah mengeluh dan menyesali kehidupannya yang sekarang. Dia mengaku mendapatkan dengan tulus kondisi perekonomian keluarga dikala ini.

“Yang penting , bagi saya mampu hidup mampu berdiri diatas kaki sendiri , hidup berkumpul bersama keluarga ,” kata dia.

Meski tinggal di sangkar sapi , ia sangat bersyukur anak-anaknya jarang sakit. Ia berharap suatu dikala nasib keluarganya akan berubah. (rahadian bagus p)

Sumber : tribunnews.com
Komentar

Tampilkan

Terkini